Oleh: A Fauzan Baihaqi
Kolumnis Sejarah Tranportasi Kolonial
Menulis mengenai masalah larangan mudik jadi teringat seorang teman yang sekaligus owner showroom kendaraan roda dua yang aktivitasnya hilir mudik untuk memenuhi nafkah. Bagi banyak orang Indonesia, mudik Lebaran sudah jadi tradisi turun menurun. Meminjam bahasa seorang Indonesianis populer Dennys Lombard ‘bahwa Silang Budaya di Nusantara karena interaksi dan migrasi antar suku untuk memenuhi kebutuhannya’. Hal inilah yang membuat kebiasaan suatu suku bisa timbul di wilayah diluar daerah hukum adat. Tidak jarang kelompok ini kita sebut masyarakat urban (urban people) biasa tinggal didaerah perkotaan. Bak makhluk yang tidak bisa lepas dari habitat, sejauh apapun hijrah, pasti mereka akan rindu kembali ke rumah tanah leluhurnya.
Gencarnya aktivitas hilir mudik di kota besar seperti Jakarta sebenarnya baru dimulai di era Orde Baru. Saat periode Gubernur Jakarta Ali Sadikin (1966-1977), mudik berkembang menjadi tradisi besar. Karena menyangkut perpindahan orang dari desa ke kota yang semakin besar dan berimplikasi luas bagi banyak hal.
Pada era sebelumnya periode Orde Lama pernah diberlakukan kebijakan Larangan Mudik yang terjadi pada era Bung Karno. Pasca dicetuskannya Trikora, ekonomi kita merosot tajam, armada transportasi pada tahun 1960-an mengalami defisit biaya operasional. Akibat salah satu Perseroan angkutan transportasi mudik, Perusahaan Djawatan Kereta Api yang saat ini menjadi PT KAI menjadi transportasi idaman pada era Demokrasi Terpimpin tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan kursi kendaraan mudik masyarakat. Tingginya minat masyarakat atas moda transportasi tersebut selain murah bagi kantong masyarakat dan juga cepat. Namun tidak beriringan dengan finansial perusahaan yang baik. Ketidakmampuan menampung banyaknya penumpang serta minim biaya operasional dipilih menjadi dasar kebijakan larangan mudik pada masa tersebut.
Layaknya rindu seorang kekasih, mudik adalah suatu proses kerinduan pada tanah leluhur, setelah 365 hari bekerja banting tulang untuk keluarga di tanah rantau, mudik menjadi suatu momen yang sangat tepat untuk mengambil jarak dari keriuhan bekerja di perkotaan. Namun dalam 2 tahun terakhir, tradisi ini harus terbatasi oleh situasi Pandemi yang masih menghantui Negeri.
Ditengah situasi pandemi dengan peningkatan kasus aktif harian Covid-19 yang tidak beranjak turun membuat pemerintah kita merasa was-was, bahwa tidak ada alasan lain untuk menunda silaturrahmi antara keluarga, mengurangi potensi penularan penyakit, maka tradisi mudik kembali harus dilarang, dengan mengikuti periode cuti serta libur rata-rata perkantoran antara 6-17 Mei 2021.
Seperti yang selalu diungkapkan oleh Ahli Epidemik, kebijakan apapun untuk mengurangi dampak penyebaran Covid-19 tidak akan bisa diselesaikan jika tidak konsisten dan tak bisa diteladani oleh seluruh aparat Negara. Saat ini kasus harian hari ini jauh 4 kali lipat dari Periode Mudik Lebaran 2020 atau 1441 H, saat itupun PSBB yang diberlakukan masih dianggap tidak konsisten karena perbedaan kebijakan antara Pusat dan Daerah, sehingga penyelesaian masalah pandemi dan mudik beberapa kali tidak mendapat titik temu. Apakah larangan mudik hari ini sangat mungkin mengurangi penyebaran? Sangat mungkin bila kebijakan antara pusat dan daerah sinkron serta saling bahu-membahu bukan mencurigai.
Dampak Kebijakan
Sudah pasti banyak dampak dari kebijakan larangan mudik tersebut baik secara sosial, religiusitas, maupun perekonomian. Yang paling merasa terpukul secara ekonomi akibat kebijakan ketat ini adalah perusahaan organda kalangan swasta , karena tidak menerima sumber penerimaan lain akibat kebijakan ini. Dari sisi sosial religiusitas jelas banyak hal yang tidak bisa dilakukan bagi kaum perantau kelas menengah kebawah yang mungkin tahun lalu tidak sempat untuk mudik dikarenakan dalam tradisi lebaran yang sudah sangat membumi seperti misalnya Halal Bihalal, yang dianggap sebagai Islam khas Nusantara tidak dapat dinikmati dengan kerabat, sanak saudara dikampung asal.
Harapan jaminan sosial yang diperoleh atas diberlakukannya larangan mudik pada era Lebaran kali ini pun seakan bisa menjadi sirna, jika berkaca pada jaminan bantuan sosial yang diberlakukan pada periode lebaran sebelumnya. Tahun lalu 15 juta tenaga kerja yang di PHK menurut data Kemnakertrans 2020 diakibatkan Pandemi, namun diklaim telah diselesaikan dengan perluasan bantuan sosial tunai atau yang dahulu disebut BLT.
Solidaritas untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap penyebaran penyakit memang perlu menjadi kesadaran tersendiri bagi warga Negara. Namun pemangku kebijakan juga harus memberikan teladan dan jaminan bagi warganya. tidak sekedar larangan atau pemberian sanksi semata.