Beranda Opini Refleksi Milangkala ke-4 PMRS, Kenapa Harus Kebudayaan?

Refleksi Milangkala ke-4 PMRS, Kenapa Harus Kebudayaan?

489
0

siarnitas.id – Paguyuban Mahasiswa Rantau Sunda (PMRS) telah beranjak pada usia yang ke-4 tahun. Usia yang terbilang masih muda bagi organisasi kemahasiswaan.

Dalam usia yang menapaki masa panen jagung itu, PMRS telah melakukan dua kali perkaderan untuk mewujudkan potensi generasi Sunda yang mampu memberikan kontribusi nyata bagi kebudayaan.

Lantas, kenapa mahasiswa Sunda harus peduli dengan Kebudayaan?

PMRS berdiri di sebuah kota multi etnik, berbagai mahasiswa dari penjuru Nusantara dengan bermacam latar belakang datang ke kota tersebut untuk menimba ilmu di Universitas Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, pada 26 Mei 2018.

Kendati membawa nama besar Sunda sebagai nama organisasi. Dalam perjalanannya, PMRS tidak hanya mengakomodir para mahasiswa asal Sunda yang notabennya berasal dari Jawa Barat atau Banten.

Ada di antara ratusan kader PMRS itu, berasal dari Sumatera Barat yang terkenal dengan Suku Minang, atau dari Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang berbangsa Aceh. Bahkan, kader dari luar identitas kesundaan itu kini ada yang menjadi pengurus aktif.

Hal ini membuktikan, kebudayaan yang menjadi basis ideologi pergerakan PMRS pahami bukanlah sebatas teritorial administratif, kesamaan suku atau bahasa sebagai alat berkomunikasi. Namun, tentang sebuah sistem nilai yang membentuk karakter bangsa Indonesia.

Sehingga, bisa dikatakan PMRS adalah organisasi fleksibel yang sejak awal terbentuknya membentengi diri dari perangkap fanatisme kesukuan.
Maka, pada gilirannya PMRS diharapkan mampu memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Salah satunya, mempertahankan keragaman budaya Indonesia.

PMRS harus berubah atau mati tertinggal

Di samping itu, arus globalisasi menghendaki kita bersanding dengan gelombang modernisasi. Gelombang yang membawa teknologi itu tentunya juga membawa pengaruh ke dalam kehidupan sosial dan budaya.

Artinya, mau tidak mau, kita harus siap dengan bermacam pengaruh kebudayaan. Namun demikian, sebagaimana di awal, PMRS tak perlu resistance dengan kebudayaan baru tersebut.

Tetapi, bagaimana kemudian kader PMRS dapat mengoptimalkan teknologi itu dan mentransformasikannya menjadi sebuah metode dalam pola pengkaderan. Tentunya, dalam realisasinya menyesuaikan dengan karakter kebudayaan yang PMRS pahami sendiri.
Selain itu, digitalisasi media yang kini melekat sebagai bagian dari kehidupan, benar-benar harus bisa dimanfaatkan oleh kader PMRS.

Kendati demikian, harus diakui, PMRS cukup tertinggal dalam hal penguasaan media dan literasi digital yang membuatnya miskin dalam gagasan, dan ringkih saat merespon isu kebudayaan.
Banyak di antara kader PMRS itu kini cenderung berfikir “kita tak butuh itu”. Yang penting perluas jaringan, jago ngomong, sibuk berpolitik (meski minim strategi).
Ringkasnya, karena minimnya budaya literasi itu menyebabkan kader tidak memiliki keahlian dalam memanfaatkan media juga berimbas kepada keberlangsungan kaderisasi.

Lalu, jika kaderasi terhenti, apa PMRS kemudian?

Pesan singkat pada Milangkala e-4 PMRS

Jika sudah merasakan bahwa PMRS telah banyak tertinggal, sudah sepantasnya sebagai kader kita harus merefleksikan diri untuk kembali ke khittah paguyuban. Menengok kembali visi, misi dan tujuannya seperti yang termaktub di AD/ART.

Sehingga, di usianya yang masih belia, kapal yang sudah kita bangun dengan segenap cinta, persahabatan, ‘persebatan’ dan hasrat untuk kembali dan mengabdi “ka lemah cai” ini tetap berlayar menuju dermaga tujuannya. Yaitu “Menjadikan Paguyuban Mahasiswa Rantau Sunda sebagai pergerakan mahasiswa yang cerdas, dan beretika. Menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang berpikir modern, dan berwawasan global sehingga menghasilkan individu yang berkualitas, dan berkarakter.

Wilujeng Milangkala PMRS nu Ke-4.

Firmansyah
Kepala Bidang Humas, Komunikasi dan Informasi (Huminkom) PMRS periode 2018-2020.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini