Beranda Opini Buruh, Politik dan Ketahanan Bangsa

Buruh, Politik dan Ketahanan Bangsa

617
0

Oleh: Nuni Nurbayani (Anggota Divisi Sosialisasi dan SDM KPUD Garut)

Ramadhan tidak menyurutkan para buruh untuk beraksi di Hari Buruh Internasional atau May Day yang diperingati setiap tanggal 1 Mei. Hari buruh sendiri pertama kali dimulai tanggal 1 Mei 1886. Saat itu 400 ribu buruh di Amerika melakukan demonstrasi besar-besaran menuntut pengurangan jam kerja menjadi delapan jam sehari. Di Indonesia, hari buruh mulai diperingati pada 1 Mei 1920. Namun, sejak pemerintahan Orde Baru (Orba) hari buruh tidak diperingati. Dan baru diperingati kembali di masa Orde Reformasi. Hingga kemudian pada tahun 2014, pemerintah menetapkan tanggal 1 Mei sebagai hari libur nasional untuk memperingati hari buruh.

Tidak terkecuali tahun ini, teriknya mentari disaat umat Islam tengah menjalankan ibadah puasa Ramadhan tidak mengurungkan para buruh di seluruh dunia turun ke jalan menyerukan tuntutannya. Di Indonesia aksi para buruh terjadi di beberapa daerah dan dipusatkan di tiga titik di Jakarta, yaitu di Kantor Organisasi Buruh Internasional/Internasional Labour Organization (ILO), Gedung Mahkamah Kontitusi (MK) dan Patung Arjuna Wiwaha. Para buruh mengajukan petisi kepada Presiden Republik Indonesia untuk membatalkan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) atau sekurang-kurangnya menghapus semua pengaturan mengenai ketenagakerjaan yang terdapat dalam Undang-Undang Cipta Kerja dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU).

Undang-undang Omnibus law yang digagas Presiden Joko Widodo (Jokowi) dianggap beberapa Pengamat dan organisasi buruh tidak berpihak kepada buruh dan hanya menguntungkan para pengusaha serta investor. Sejak disahkan sebagai Undang-Undang senin (5/10/2020) dalam rapat Paripurna ke-7 masa persidangan I 2020-2021, Undang-undang ini terus menuai pro dan kontra.

Politik Hukum Perburuhan di Indonesia

Kehadiran undang-undang perburuhan di Indonesia melalui jalan panjang dan berliku. Diwarnai respon beragam dan terdramatis menelan korban di beberapa aksi buruh. Perjalanan panjang Undang-undang perburuhan tercatat sejak masa perbudakan di Indonesia tahun 1819. Pada tahun ini lahir peraturan tentang pendaftaran budak. Tahun 1820 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan yang mewajibkan membayar pajak bagi pemilik budak. Kemudian sejak Indonesia merdeka lahir belasan peraturan setingkat Undang-Undang yang mengatur ketenagakerjaan (perburuhan) yaitu dimulai dengan ordonasi (peraturan pemerintah) tentang pengerahan orang Indonesia untuk melakukan pekerjaan di luar Indonesia yaitu Staatsblad tahun 1887 No. 8. Dan kini yang terbaru lahir Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus law).

Omnibus Law ini disinggung Presiden Jokowi untuk pertama kali dalam pidato pertamanya setelah dilantik sebagai Presiden RI 2019-2024. Menurut Bivitri, Pakar Hukum Tata Negara seperti dilansir dalam kompas.com. Undang-undang Omnibus Law ini yaitu satu Undang Undang yang dibuat untuk menyasar isu besar dan mungkin mencabut atau mengubah beberapa Undang-Undang. Undang-Undang ini dimaksudkan untuk merampingkan regulasi dari segi jumah. Selain itu menyederhanakan peraturan agar lebih tepat sasaran.

Yang diatur dalam Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja kerja adalah 11 klaster yang menggabungkan 79 undang-undang. Di dalamnya menyangkut aturan ketenagakerjaan, penyederhanaan perizinan, pesyaratan investasi, hingga administrasi pemerintahan. Sebagai penerima manfaat dari undang-undang tersebut para buruh menolak sepenuhnya kehadiran undang-undang cipta kerja yang dianggap tidak berpihak pada para buruh (pekerja). Sebetulnya pro kontra dari para buruh terhadap undang-undang tenaga kerja tidak terjadi kali ini saja. Sejak lama kebijakan perburuhan selalu dipandang oleh beberapa kalangan ditunggangi kepentingan elit. Dalam pandangan Restaria Hutabarat, SH., LBH Jakarta, kebijakan perburuhan tidak muncul tiba-tiba. Kebijakan ini senantiasa dilatarbelakangi oleh kepentingan tertentu yang disisipkan dalam grand strategy kebijakan nasional (selective mirror thesis: hukum mencerminkan kepentingan pihak tertentu).

Sebelum Omnibus Law, Restaria berpandangan ada tiga paket kebijakan perburuhan diantaranya Undang-Undang (UU) No. 2 tahun 2000, UU No. 13 tahun 2003 dan UU No. 2 tahun 2004 yang ditunggangi kepentingan. Kehadiran tiga paket Undang-undang ini menurut Restaria dilatarbelakangi oleh program globalisasi Multi Nasional Coorporation (MNC) yang didirikan oleh Negara-negara kaya kapitalis di dunia. MNC ini adalah IMF (International monetary Fund) dan World Bank yang memberikan hutang ke bebagai negara dengan dalih untuk mengentasikan kemiskinan. Namun dalam pandangan Restaria pemberian hutang ini justru menguntungkan negara-negara Kapitalis.

Buruh dan Upaya Memperkuat Ketahanan Bangsa 

Penolakan terhadap undang-undang perburuhan salah satunya undang-undang cipta kerja menunjukan bahwa undang-undang tersebut masih menciptakan disparitas antara buruh, pengusaha dan pemerintah. Belum terjadi kesamaan pandangan dalam menterjemahkan Undang-undang tersebut. Hal ini tentu saja mengundang friksi yang merugikan ketahanan bangsa. Apalagi jika mengingat jumlah buruh di Indonesia yang tercatat terbesar kedua di dunia setelah Cina. Hal ini harus menjadi perhatian agar tidak terjadi gejolak sosial di arus bawah yang merugikan ketahanan bangsa.

Dengan latar belakang pendidikan yang rendah kaum buruh memiliki potensi yang besar untuk dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, yang ingin menciptakan disharmonisasi bangsa. Tunggangan politik elit dalam pembuatan undang-undang juga salah satu pemicu perpecahan. Belum lagi komentar dari para pengamat ekonomi yang menambah kisruh hubungan antara buruh, pengusaha dan pemerintah. Dalam hal ini berbagai pihak harus belajar menahan diri. Pemerintah, DPR harus mampu menjembatani kepentingan kaum buruh dan pengusaha dengan lahirnya Undang-undang yang dapat menciptakan bonum commune (kesejahteraan bersama) terutama kaum buruh.

Tentunya perlu upaya-upaya untuk meredam gejolak di arus bawah dengan berbagai kebijakan dan kebijaksanaan semua pihak. Diantaranya, undang-undang dibuat betul-betul harus mengakomodir kepentingan masyarakat, bukan hanya kepentingan pengusaha atau elit politik tertentu. Pemerintah harus memiliki inisiatif untuk duduk bersama dengan para buruh (organisasi buruh) dan pengusaha dalam setiap kelahiran regulasi, agar ada kesepahaman dalam menerjemahkan undang-undang. Sehingga terjadi konsensus antara beberapa pihak yang berkepentingan. Para komentator juga harus menahan diri untuk tidak memberikan komentar yang mengundang disintegrasi. Dengan begitu tidak terjadi gejolak sosial yang merugikan bangsa, terutama para buruh (rakyat). Wallahu álam bish showab.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini