Beranda Ragam Prof. Dr. Sulianti Saroso Jadi Tema Google Doodle Hari Ini, Berikut Profilnya

Prof. Dr. Sulianti Saroso Jadi Tema Google Doodle Hari Ini, Berikut Profilnya

145
0
Prof. Dr. Sulianti Saroso
Prof. Dr. Sulianti Saroso kini yang menjadi tema dari Google Doodle hari ini.

siarnitas.id – Prof. Dr. Sulianti Saroso kini yang menjadi tema dari Google Doodle hari ini. Sosoknya sebagai dokter asal Indonesia yang dikenal oleh banyak orang sebagai salah satu pakar kesehatan paling signifikan pada masanya karena mempromosikan kesehatan ibu hamil dan keluarga.

Namanya kini disematkan pada Rumah Sakit Pusat Infeksi (RSPI) di kawasan Sunter, Jakarta Utara.

Baca Juga : Download Lagu Dari Youtube Jadi MP3, Begini Caranya

Lantas, siapa sosok Prof. Dr. Sulianti Saroso yang menjadi tema Google Doodle hari ini?.

Sulianti Saroso, lahir 10 Mei 1917 di Karangasem, Bali. Ia merupakan anak kedua dari keluarga dengan profesi dokter M Sulaiman. Tempat tinggal Sulianti juga ikut berpindah-pindah lantaran mengikuti tempat tugas ayahnya.

Meskipun demikian, Sulianti selalu mendapat pendidikan terbaik. Ia menempuh pendidikan dasar berbahasa Belanda ELS (Europeesche Lagere School), lalu pendidikan menengah elite di Gymnasium Bandung, dan melanjutkan pendidikan tinggi di Geneeskundige Hoge School (GHS), sebutan baru bagi Sekolah Kedokteran STOVIA di Batavia. Di STOVIA ia lulus sebagai dokter pada tahun 1942.

Pada masa koloni Jepang, Sulianti bekerja sebagai dokter di RS Umum Pusat di Jakarta, yang kini dikenal sebagai RS Cipto Mangunkusumo.

Lalu di awal kemerdekaan Indonesia, ia ikut bertahan di rumah sakit besar itu. Namun, ketika ibu kota negara pindah ke Yogyakarta, Sulianti turut hijrah menjadi dokter republiken dan bekerja di RS Bethesda Yogyakarta.

Sulianti mengikuti profesi dokter dari keluarganya. Ayahnya, dokter Muhammad Sulaiman, yang berasal dari kalangan keluarga priyayi tinggi di Bagelen-Banyumas adalah pengurus dan pendiri Boedi Oetomo, dengan pandangan politik yang pro Indonesia Merdeka.

Di Yogya, Sulianti, yang oleh teman-temannya sering dipanggil sebagai Julie, itu benar-benar terjun sebagai dokter perjuangan. Ia mengirim obat-obatan ke kantung-kantung gerilyawan republik, dan terlibat dalam organisasi taktis seperti Wanita Pembantu Perjuangan, Organisasi Putera Puteri Indonesia, selain ikut dalam organisasi resmi Kongres Wanita Indonesia (KOWANI).

Pada 1947, Sulianti ikut delegasi KOWANI ke New Delhi, menghadiri Konferensi Perempuan se-Asia. Dari situ, Sulianti dan teman-teman menggalang pengakuan resmi bagi kemerdekaan Indonesia.

Saat pasukan Pemerintahan Sipil Hindia Belanda/NICA menyerbu dan menduduki Yogyakarta, pada Desember 1948, Sulianti termasuk ke dalam daftar panjang para pejuang kemerdekaan yang ditahan. Ia meringkuk di penjara selama dua bulan.

Bekerja di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Pascarevolusi kemerdekaan, dokter Sulianti kembali bekerja di Kementerian Kesehatan. Ia meraih beasiswa dari WHO untuk belajar tentang tata kelola kesehatan ibu dan anak di beberapa negara Eropa, terutama Inggris.

Pulang ke tanah air pada 1952, ia telah mengantungi Certificate of Public Health Administrasion dari Universitas London. Ia pun ditempatkan di Yogya sebagai Kepala Jawatan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan RI.

Sulianti kemudian melakukan penggalangan dukungan publik untuk program kesehatan ibu dan anak, khususnya pengendalian angka kelahiran lewat pendidikan seks dan gerakan keluarga berencana (KB).

“Dengan penuh semangat dia meminta pemerintah agar membuat kebijakan mendukung penggunaan kontrasepsi melalui sistem kesehatan masyarakat,” tulis Terence H Hull, pengamat kebijakan kesehatan dari Australia National University (ANU), dalam People, Population, and Policy in Indonesia, 2005.

Namun kampanye Sulianti saat itu menimbulkan resistensi. Gagasannya ditolak mentah-mentah. Dia juga mendapat teguran dari Kementerian Kesehatan. Tak lama kemudian ia dipindah ke Jakarta, promosi menjadi Direktur Kesehatan Ibu dan Anak di kantor Kementerian Kesehatan.

Dokter Sulianti masih terus memperjuangkan ide program KB. Hanya saja melalui jalur swasta. Bersama sejumlah aktivis perempuan, ia mendirikan Yayasan Kesejahteraan Keluarga (YKK) yang menginisiasi klinik-klinik swasta yang melayani KB di berbagai kota.

Baca Juga : RA Lasminingrat Sosok Perempuan di Google Doodle Hari Ini, Begini Sejarah Singkatnya

Para pejabat kementerian tutup mata. Untuk membangun model sistem pelayanan ibu dan anak, ia juga mendirikan pos layanan di Lemah Abang, Bekasi. Tujuannya, pelayanan medik bagi ibu dan anak bukan tujuan akhir. Goal-nya kehidupan ibu dan anak yang sehat dan bahagia.

Memasuki tahun 1960-an, Sulianti dihadapkan pada masalah. Suaminya, Saroso, yang sebelumnya pejabat tinggi di Kementerian Perekonomian tersisih secara politik. Sebagai tokoh PSI (Partai Sosialis Indonesia), Saroso mendapat imbas peristiwa PRRI.

Tak mau lama terpuruk dalam situasi rumit, Sulianti mengambil beasiswa di Tulane Medical School, New Orleans, Louisiana. Dalam lima tahun, ia meraih gelar MPH dan PhD. Desertasinya tentang epidemiologi bakteri E-Coli.

Selesai dengan PhD-nya, Sulianti sempat setahun menjadi asisten profesor di Tulane, dan punya opsi memperpanjangnya. Lamarannya untuk menjadi profesional di Kantor Pusat WHO di Genewa, Swiss, diterima.

Namun, saat ia berada di Jakarta mempersiapkan kepindahannya, Menteri Kesehatan Profesor GA Siwabessy menahannya. Tak lama kemudian, dokter Sulianti diangkat menjadi Dirjen P4M dan Direktur LRKN atau kini menjadi Balitbang Kementerian Kesehatan.

Dirinya pun diizinkan aktif di WHO. Sewaktu menjabat Dirjen P4M, Profesor Sulianti mendeklarasikan Indonesia bebas cacar. Posisi Dirjen P4M dijalaninya sampai 1975, saat ia mundur dan memilih fokus di Balitbang Kesehatan hingga pensiun 1978.

WHO masih memanfaatkan kepakarannya dan menjadikannya pengawas pada Pusat Penelitian Diare di Dakka, Bangladesh 1979. Di dalam negeri, Ia juga masih diperlukan sebagai staf ahli menteri.

Pada era 1970 hingga 1980-an, gagasan-gagasannya tentang pengendalian penyakit menular, KB, dan kesehatan ibu serta anak secara bertahap diadopsi menjadi kebijakan pemerintah. Meski memiliki kepedulian besar tentang KB, menurut Dita Saroso, ibunya tak sempat turut terlibat dalam eksekusinya.

Baca Juga : Google Kali Ini Bertema Perubahan Iklim, Ini Dampaknya

Di pengujung karirnya, Prof. Dr. Sulianti Saroso lebih banyak menekuni bidang yang sesuai dengan kompetensi akademiknya, yakni penyakit menular. Dia juga tetap saja tak tertarik menangani pasien orang per orang. Ia tidak membuka praktek pribadi.

Filosofinya sebagai dokter bukan sebatas mengobati pasien, melainkan membuat masyarakat (terutama kalangan menengah ke bawah) hidup sehat, sejahtera, dan bahagia.

Baca berita dan informasi menarik lainnya dari siarnitas.id di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini