Siarnitas.id – Bicara sukses tentu ambisi yang kerap dimiliki oleh semua orang, tak ayal ambisi itu membuat siapapun bekerja keras untuk menggapainya.
Tidak sedikit diantaranya menorehkan hal itu dengan rasa prihatin dan penuh cinta, seperti yang dilakoni oleh Ahli Forensik Linguistik Niknik M Kuntarto semasa remajanya.
Ditinggal oleh ayahnya di usia yang tergolong cukup belia 12 tahun ia sempat memilih bersekolah di SPG ( Sekolah Pendidikan Guru ) agar nanti mampu menghidupi penghidupannya bersama 7 adiknya.
“Sejak usia 12 tahun, saya sudah menjadi anak yatim. Ayah saya meninggal, Oleh karena itu, setelah lulus SMP, saat teman-teman sibuk memilih SMA yang terbaik, pilihan saya hanya 1, masuk ke SPG (Sekolah Pendidikan Guru) Majalengka dengan harapan setelah lulus saya langsung bekerja sebagai guru SD dan tentu dapat meringankan beban hidup Mamah,” ungkapnya, Senin (10/5/2021).
Namun sayang, keinginannya belum sempat terwujud, ia lebih dahulu dipertemukan dengan seorang lelaki sekaligus motivator yang mengubahnya menjadi sosok wanita kuat dan mandiri.
“Dia mengajarkan saya banyak hal, harapannya saya bisa menjadi wanita yang bermanfaat, mandiri, dan tangguh, walaupun kadang caranya kebablasan dan unik, dia juga mengantarkan saya untuk melanjutkan studi hingga S-3 di UNJ,” tuturnya.
Cerita Dosen Hingga Anggapan Remeh Picu Niknik Tunjukan Diri
Usai Niknik memutuskan untuk kuliah dan memilih dunia pendidikan sebagai dunianya sendiri ada kalimat yang ia kenang hingga kini.
‘Ada pepatah dari Jerman, orang cantik itu diibaratkan seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi cantik, di satu sisi yang lainnya pasti bodoh. Anda jangan seperti itu, Nik!’.
“Analogi itu menusuk hati, secara halus ia mengatakan bahwa saya adalah wanita cantik (itu saya suka) dan bodoh! (ini yang membuat saya terkaget-kaget), Sejak saat itu, saya selalu ingin membuktikan kepada dosen tersebut dan kepada dunia bahwa saya bisa menjadi wanita cantik dan pintar,” katanya.
Belum cukup reda dengan analogi dosen yang ia terima langsung, Niknik Mediyawati Kuntarto dihadapkan dilematika dengan rekan sejawat sesama profesi guru yang menganggap remeh buku yang ia tulis untuk menunjang profesinya sebagai guru bahasa Indonesia.
“Nik, aku tidak mau menggunakan bukumu karena menyesatkan. Bukumu elek!”
“Istilah ‘kesantunan bahasa’ dalam bukumu itu aneh! Santun itu berhubungan dengan sikap, tidak ada hubungannya dengan bahasa! Mana pernah ada istilah “kesantunan ejaan, kesantunan diksi,
kesantunan kalimat, kesantunan paragraf, dll… Itu menyesatkan!.”
Mendengar celoteh dari kawan sejawat sesama profesi sebagai Dosen Bahasa Indonesia Niknik sempat kalut.
“Saya putus asa, dan air mata saya tumpah, tapi berawal dari itu saya berusaha untuk mawas diri, introspeksi diri memperbaiki buku tersebut, setelah 1 tahun dicetaklah buku itu untuk yang kedua kalinya, dan buku cetakan pertama sebanyak 2.000 eksemplar telah habis dan perlu dicetak kembali,” ungkapnya.
“Alhamdulillah…! Akhirnya, dengan berjalannya waktu, tiga tahun kemudian atau tepatnya pada 2010 buku Cermat dalam Berbahasa, Teliti dalam Berpikir telah mengalami 20 kali cetak ulang, itu tandanya sudah 40.000 eksemplar digunakan oleh anak negeri yang peduli pada bahasa Indonesia,” ucap dia.
Hingga kini ketekunan dan kegigihannya baik dalam mengajar hingga menelurkan banyak penghargaan yang ia miliki, beberapa waktu lalu karya novel Saatirah yang ia tulis sempat mendapatkan tawaran film dari pemerintah Kabupaten Majalengka, namun sayang tidak dapat terwujud.
“Belum terwujud karena berbagai kendala, meski begitu Saatirah dapat dipentaskan melalui teater di daerah lain,” tutupnya. (Fik)