Politik kekerabatan (political kinship) yang lebih populer dengan istilah politik dinasti, kembali menjadi sorotan publik. Terutama ketika Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi mendapatkan mandat politik PDIP, 17 Juli 2020 sebagai Bakal Calon Walikota Solo.
Direktur Eksekutif Citra Institute Yusa’ Farchan mengatakan bahwa diskursus politik dinasti seolah seperti benang kusut yang sulit diurai dan dicarikan jalan keluarnya. Sebagian besar kalangan menganggap, politik dinasti adalah residu demokrasi karena menabrak batas-batas standar etik dan moral politik pemegang kuasa. Sebagian lagi menganggap politik dinasti adalah realitas politik yang wajar karena memiliki akar historis yang kuat dalam lanskap politik tanah air.
“Politik dinasti adalah reinkarnasi dari model patrimonialisme era monarki di mana klan politik dibentuk berdasarkan faktor genealogis. Hanya saja, patrimonialisme gaya baru ini direproduksi melalui rekrutmen kepemimpinan politik oleh parpol dan dilegitimasi oleh saluran-saluran formal demokrasi melalui pemilihan umum baik di level eksekutif maupun legislatif,” kata Yusa’ Farchan dalam reales persnya, Selasa (4/8/2020).
Lebih lanjut Yusa, menjelaskan bahwa sengkarut politik dinasti menjadi semakin rumit karena norma hukum yang melarang politik dinasti dalam Pasal 7 huruf r UU No 8 tahun 2015 sudah dibatalkan MK, 2015 lalu. Bertumpu pada argumentasi lemahnya unsur pengawasan dan pelanggaran hak konstitusional warga negara, MK menganggap pasal tersebut diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
“Pasca putusan MK, dalam kasus pencalonan kerabat petahana di beberapa daerah, memang tidak ada yang dilanggar parpol pemberi mandat. Secara yuridis, pencalonan mereka sah dan konstitusional. Tapi justru di sinilah problemnya ketika politik dinasti masuk dan dilembagakan melalui prosedur formal demokrasi,” jelasnya.
Yusa’ Farchan juga menambahkan bahwa frasa demokrasi dan terbuka yang ada dalam UU Partai Politik prakteknya sering ditafsirkan secara bias. Menurutnya hal itu salah satu yang dapat menyebabkan mundurnya demokrasi.
“Frasa “demokratis dan terbuka” dalam rekrutmen politik sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UU No 2 Tahun 2011 (UU Parpol) dalam praktiknya juga ditafsirkan secara bias. Institusionalisasi politik dinasti melalui prosedur formal demokrasi justru menggambarkan kemunduran demokrasi itu sendiri.
Menurut Yusa, dalam demokrasi liberal-kapitalistik, sirkulasi kepemimpinan politik memang tidak bisa dilepaskan dari relasi kuasa-modal yang saling berkelindan. Jangkar-jangkar kekuasaan yang terdistribusi rapi ke dalam bentuk-bentuk shadow state dan informal governance, salah satunya disumbang oleh pelembagaan politik kekerabatan. Pada titik inilah, etika moral politik menjadi sangat penting dan diperlukan sebagai bentuk pengendalian kekuasaaan politik.
“Prinsip kesetaraan dan keadilan harus tegak bersama dalam etika dan moral politik dalam rangka mendorong rekrutmen kepemimpinan politik yang inklusif. Partai politik tetap memiliki tangggung jawab moral untuk mengelola kehidupan politik dan bernegara yang demokratis sesuai tuntutan reformasi,” pungkasnya.