Beranda Eksekutif Ombudsman RI : Pemko Surabaya Perlu Revisi Regulasi Yang Menghambat Smart City

Ombudsman RI : Pemko Surabaya Perlu Revisi Regulasi Yang Menghambat Smart City

186
0

Penerapan smart city mengintegrasikan teknologi, infratruktur dan partisipasi masyarakat guna menciptakan kota yang lebih efektif dan efisien, berkelanjutan dan ramah lingkungan. Hal itu urgen untuk menghadapi tantangan dinamika masyarakat perkotaan yang semakin kompleks.

“Smart City tidak hanya meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengelolaan kota, tetapi juga memberikan manfaat bagi masyarakat secara luas, seperti peningkatan pelayanan publik, penghematan sumber daya, dan perlindungan lingkungan. Oleh sebab itu perlu didorong dalam penerapan smart city,” kata Hery Susanto Anggota Ombudsman RI saat menjadi keynote speaker dalam Seminar Nasional Pengelolaan Insfratruktur Telekomunikasi yang Menunjang Smart City dan Pelayanan Publik yang diselenggarakan oleh Yayasan Kajian Potensi Indonesia Sejahtera (Yakpis) dan Institute of Research and Public Development (IRDP) di Narita Hotel, Kota Surabaya (12/10/2023).

Hadir membuka acara mewakili Walikota Surabaya Ira Narulita selaku Kadis Infokom, Agus Mutaqien selaku Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jawa Timur memberikan sambutan. narasumber yang hadir Lilik Arijanto selaku Kadis Sumber Daya Air dan Bina Marga Pemko Surabaya, Jeri Mangasas selaku Ketua Umum Apjatel, dan Saputra Malik selaku Kepala Pemeriksaan Keasistenan Utama V Ombudsman RI.

Hery memaparkan untuk mewujudkan potensi Smart City di Indonesia, tentu diperlukan partisipasi aktif dari berbagai pihak sangat diperlukan, baik pemerintah, legislatif, akademisi, kelompok bisnis, pers maupun masyarakat perlu bersinergi dan berkolaborasi dalam mengembangkan Smart City. Dengan demikian pemerintah sebagai regulator bisa menciptakan kebijakan yang mendukung pengembangan Smart City dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, dan memfasilitasi implementasi teknologi informasi dan komunikasi.

“Harus ada kolaborasi dari berbagai elemen supaya smart city dapat tercipta dengan baik melalui regulasi dan ekosistem yang mendukung pengembangan smart city,” paparnya.

Lebih lanjut, Hery menjelaskan bahwa ada beberapa indikator dalam menerapkan smart city diantaranya smart living dan enviroment, smart transportation, smart economy, smart government dan people. Menurutnya apabila indikator tersebut diraih maka kualitas tata kota dan pelayanan publik yang baik dan efesien bisa dinikmati masyarakat luas.

“Urgensi dari pengembangan smart city adalah smart government yang mampu memberikan pelayanan publik menjadi lebih baik,” jelasnya.

Hery mengatakan bahwa dalam rule model smart city di Indonesia setidaknya ada tiga model yang mengemuka, diantaranya Ibu Kota Negara (IKN) yang baru di Kaltim, DKI Jakarta dan Kota Surabaya. Namun dalam sorotan Ombudsman RI penerapan model smart city di Kota Surabaya terdapat 2 regulasi daerah itu yang dinilai terapkan biaya retribusi tinggi. Yakni Perda Kota Surabaya No 5/2017 Tentang Penyelenggaraan Jaringan Utilitas dan Perwali Kota Surabaya No. 1/2022 Tentang Formula Tarif Sewa Barang Milik Daerah Berupa Tanah dan atau Bangunan.

Hery menyarankan Pemko Surabaya perlu merevisi kebijakan dalam hal ini Perda Surabaya No 5/2017 tentang penyelenggaraan jaringan utilitas dan Perwali Kota No. 1/2022 tentang Formula Tarif Sewa Barang Milik daerah berupa tanah dan atau bangunan. Pasalnya regulasi tersebut dinilai bisa menghambat Kota Surabaya menjadi Smart City.

“Pemko Surabaya harus segera merevisi Perda Kota Surabaya No 5/2017 Tentang Penyelenggaraan Jaringan Utilitas, dan Perwali Kota Surabaya No. 1/2022 Tentang Formula Tarif Sewa Barang Milik daerah berupa tanah dan atau bangunan. Pasalnya ketentuan tersebut belum menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya sehingga jika tidak direvisi berpotensi sebagai tindakan maladministrasi,” ujarnya.

Dalam UU Ciptaker memuat juga klaster perpajakan. Klaster tersebut salah satunya berisi perubahan regulasi dalam bagian ketujuh bab VI terkait dengan kemudahan berusaha, salah satunya yakni Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

“Pemerintah menetapkan kebijakan fiskal nasional yang berkaitan dengan PDRD, termasuk dapat menetapkan tarif PDRD yang berlaku secara nasional,” jelasnya.

Tindakannya, pemerintah melakukan evaluasi Perda PDRD untuk menguji kesesuaian antara ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan atau kebijakan fiskal nasional.

Dalam konteks mendukung smart city Pemko Surabaya seharusnya tidak menjadikan alasan penataan keindahan kota untuk tujuan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sebab pada akhirnya ini bisa menguntungkan salah satu pihak yakni pemda saja, dengan alasan penataan kota namun merugikan publik luas. Contohnya pengenaan sewa penggunaan bahu jalan yang digunakan oleh penyelenggara utilitas vital. “Model regulasi demikian itu mendorong munculnya biaya baru yang dapat menyebabkan meningkatnya biaya pelayanan publik yang makin tinggi,” katanya.

Revisi 2 regulasi tersebut berupa penyelerasan norma hukum dengan peraturan perundang-undangan terbaru di level pusat. Sebagai contoh, ketentuan mengenai sewa seluruh dan atau sebagian tanah di permukaan tanah maupun dibawah permukaan tanah yang diatur dalam ketentuan PMK 115/2020 tidak berlaku terhadap hal yang berkaitan dengan fasilitas publik. Hal ini bertujuan agar fasilitas publik dapat dimanfaatkan secara optimal dengan biaya yang efisien.

“Pemko Surabaya perlu mengevaluasi regulasi tersebut melalui Dinas PU Bina Marga terkait kebijakan mahalnya tarif retribusi pengelolaan gorong-gorong untuk lintasan kabel optik telekomunikasi. Dan Pemko perlu melakukan sosialisasi publik dalam peningkatan kuantitas dan kualitas Kota Surabaya menuju smart city,” katanya.

Hadir sebagai keynote speaker kedua yakni Anggota DPR RI Dapil Jawa Timur I (Kota Surabaya dan Kab Sidoarjo) Rahmat Muhajirin. Ia mengungkapkan bahwa adanya temuan kebijakan yang berkaitan dengan tarif sewa penggunaan jalan yang memberatkan pelaku usaha harus segera ditindak lanjuti. Menurutnya kebijakan Pemda tersebut bertentangan dengan Undang-undang serta dapat menghambat pelayanan publik.

“Kebijakan Pemda Surabaya No 5/2017 Tentang Penyelenggaraan Jaringan Utilitas, dan Perwali Kota Surabaya No. 1/2022 Tentang Formula Tarif Sewa Barang Milik Daerah Berupa Tanah dan atau Bangunan, sudah keluar dari syarat pembuatan peraturan perundang-undangan,” terangnya.

Lebih Lanjut, Rahmat menjelaskan adanya kondisi tidak harmoni antara kebijakan Pemko Surabaya dengan Undang-Undang yang berlaku, berdampak memberatkan masyarakat dan tidak mengikuti kaidah dalam hukum pembentukan peraturan perundang-undangan.

“Pembentukan Perda tujuannya harus jelas yaitu untuk mensejahterakan rakyat, tidak boleh ada konsideran menimbang, mengingat yang merugikan masyarakat. Karena hal ini dapat memperhambat pelayanan publik,” pungkasnya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini