Jakarta – Pada 18 Maret hingga 9 April 2021 Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) telah melaksanakan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) terhadap 1.351 pegawainya. Tes ini dimaksudkan untuk menguji wawasan para pegawai KPK untuk diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Direktur Eksekutif Nur Institute M Nur Aries Shoim menyoroti TWK tersebut secara substansial sangat baik untuk melihat komitmen kebangsaan dari para pegawai organisasi ujung tombak penegekan korupsi di Indonesia.
“Sayangnya, alih-alih menjunjung tinggi semangat kebangsaan, kebhinekaan dan nasionalisme, test tersebut lebih condong pada diskriminatif, tidak professional, ekslusif dan condong pada ranah private. Seperti pertanyaan, apakah shalat pakai Qunut? Islam apa? Mau tidak jadi istri kedua saya? Kenapa anaknya sekolah di Sekolah Islam (SDIT) dan bagaimana kalua anaknya menikah beda agama?” ungkap Shoim saat diwawancarai redaksi (Senin, 10/05).
Dia juga menegaskan dari fakta tersebut kami melihat bahwa test tersebut tidak professional dan proporsional. Pertama test tersebut sangat paradoks dengan kampanye kebhinekaan sebagaimana pesan dari Pancasila misalnya pertanyaan tentang Qunut. Permasalahan qunut sudah selesai bagi umat muslim Indonesia dan mereka sudah memaklumi satu sama lain baik yang mengerjakan atau tidak.
“Akan tetapi jika pertanyaan muncul dalam suatu seleksi, maka dipastikan itu pertanyaan sangat tendensius dan hanya untuk sekolompok muslim Indonesia saja. Pertanyaan ini berpotensi untuk memecah belah masyarakat.
Kedua pertanyaan tersebut sangat tidak menghargai kepercayaan yang dipeluk setiap masyarakat Indonesia,” tandasnya.
Pada masa orde baru, lanjut Ex-Ketua PB HMI itu, melalui Menteri agama A. Mukti Al, Bapak Perbandingan Agama Indonesia, menganjurkan agar setiap warga Indonesia saling menghargai agama dan kepercayaannya melalui konsep “agree in disagreement”/ sepakat dalam perbedaan.
Shoim menegaskan pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin sah untuk just to know and how to respect, akan tetapi jika itu untuk meloloskan atau tidak maka itu tidak lagi menghargai perbedaan yang ada. dan dipastikan sangat bertentangan dengan kampanye kebhinekaan pemerintah hari ini.
“Ketiga, disinyalir test TWK ini hanya sebagai alat penjerat bagi pegawai kpk yang tidak sepaham dengan elit yang mendesign pertanyaan tersebut. Jika hal ini terjadi maka ada upaya nyata pelemahan KPK. Degradasi profesinalitas dan penguatan patron client di tubuh Lembaga anti rasuah ini,” pungkasnya.
Oleh karena itu, Nur Institute melalui Shoim menyatakan sikap:
1. Meminta presiden RI untuk membatalkan test TWK tersebut
2. Meminta para presiden dan stakeholder terkait untuk mempertahankan pegawai KPK lama, karena sudah terbukti komitmen, kredibelitas dan profesionalitas mereka dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
3. Meminta Menteri PAN RB untuk mengevaluasi dengan seksama proses dan materi seleksi TWK sehingga lebih menyentuh substansi dan bukan upaya homogenisasi ASN.
4. Mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk mengawal dan menguatkan KPK sebagai organisasi professional pemberantasan korupsi dan bebas dari praktek nepotisme dan clientalisme.