Beranda Opini Pandangan Linguistik Pada Kata “Mudik dan Pulang Kampung”

Pandangan Linguistik Pada Kata “Mudik dan Pulang Kampung”

341
0

Oleh : Taat Budiono, Dosen Fakultas Sastra Universitas Pamulang

Dalam sebuah wawancara ekslusif antara Najwa Sihab dan Presiden Joko Widodo di salah satu stasiun tv, Presiden Jokowi ditanya oleh Najwa terkait sejumlah orang yang telah mencuri start untuk mudik di tengah pandemi covid-19 ini. Presiden membantah bahwa peristiwa itu bukanlah disebut mudik namun menurutnya itu adalah pulang kampung.

Setelah video wawancara ini beredar, publik kemudian mempertanyakan pernyataan presiden tersebut. Publik menganggap tidak ada perbedaan makna antara kata mudik dan kata pulang kampung. Lalu bagaimana linguistik sebagai ilmu bahasa memandang fenomena bahasa ini?

Apa yang terjadi pada kedua kata ini dalam linguistik disebut dengan sinonim. Mengutip pendapat Verhar (1978) dalam buku Abdul Chaer (2009) disebutkan bahwa sinonim adalah “ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain”.

Orang awam mengenal sinonim ini dengan persamaan kata. Padahal menurut pandangan Verhar antara sinonim dan persamaan kata berbeda. Beberapa contoh sinonim dalam bahasa Indonesia misalnya seperti kata buruk dan jelek; kemudian kata bunga yang bersinonim dengan kembang dan puspa. Begitu juga dengan yang terjadi pada kata mudik dan pulang kampung, keduanya adalah sinonim.

Hubungan makna antara dua kata yang bersinonim bersifat dua arah. Misalnya jika kata mudik bersinonim dengan kata pulang kampung, maka kata pulang kampung juga bersinonim dengan kata mudik. Jika dibagankan hubungannya jadi seperti gambar berikut ini.

Pada definisi sinonim di awal tadi disebutkan bahwa sinonim itu “maknanya kurang lebih sama’’. Hal ini berarti dua kata yang bersinonim tidak memiliki kesamaan makna setarus persen atau dengan kata lain tidak ada sinonim mutlak menurut pendapat Zgusta (1971) dan Ullman (1972). Mengapa demikian? Hal ini karena dalam semantik (ilmu yang mengkaji makna) terdapat prinsip yang mengatakan bahwa “jika ada bentuk yang berbeda maka makna pun akan berbeda, walaupun perbedaannya sedikit”. Bentuk dalam hal ini merujuk pada bentuk satuan lingual (satuan kebahasaan) yang bisa berupa kata, frase, atau kalimat. Demikian juga dengan kata yang bersinonim. Jadi meskipun kata jelek dan kata buruk bersinonim, namun maknanya tidak persis sama. Begitu juga dengan kata kembang, bunga, dan puspa, atau kata mudik dan pulang kampung maknanya pun tidak persis sama.

Untuk melihat perbedaan dua kata yang bersinonim, kita dapat mengamatinya langsung pada sebuah contoh kalimat Tikus itu mati diterkam kucing. Kata mati pada kalimat tersebut bersinonim dengan kata meninggal dunia. Namun apakah kata meninggal dunia pada kalimat tersebut dapat menggantikan kata mati? Tentu saja tidak karena perbedaan makna kedua kata tersebut. Hal ini membuktikan bahwa kata-kata yang bersinonim itu tidak memiliki makna yang persis sama.

Jika kata yang bersinonim tidak memiliki kesamaan makna, lantas persamaan terletak di mana? Menurut Verhar, yang sama adalah informasinya bukan maknanya. Informasi itu bersifat ekstralingual sedangkan makna bersifat intralingual. Atau jika merujuk pada teori analisis komponen makna, persamaan pada kata bersinonim terjadi pada komponen atau unsur tertentunya saja. Misalnya kita ambil contoh kata mati dan meninggal dunia di atas untuk dilihat komponen maknanya. Tanda (+) menunjukkan bahwa kata tersebut memiliki komponen makna itu. Sedangkan tanda (-) tidak mempunyai komponen makna tersebut dan tanda (±) menunjukkan kata tersebut bisa jadi memiliki komponen makna tersebut atau juga bisa jadi tidak memiliki komponen makna tersebut.

Komponen makna kata mati adalah (+) tak bernyawa, (+) dapat dikenakan pada apa saja (hewan, manusia, pohon, dan sebagainya). Sedangkan komponen makna kata meninggal dunia adalah (+) tak bernyawa, (+) hanya dikenakan pada manusia. Dari komponen makna pada dua kata tersebut, dapat dilihat bahwa kata mati dan meninggal dunia hanya bersinonim pada komponen makna pertama yaitu (+) tidak bernyawa. Sedangkan pada komponen makna kedua tidak sama. Lalu bagaimana dengan komponen makna pada kata kata mudik dan pulang kampung ? Apakah sama atau berbeda?
Komponen makna kata mudik adalah (+) berpindah, (+) menjelang puasa atau lebaran, dan (+) kembali. Sedangkan komponen makna kata pulang kampung yaitu (+) berpindah, (+) kapan saja, (±) tidak kembali. Dari komponen makna yang kedua kata tersebut dapat dilihat bahwa kata mudik dan kata pulang kampung hanya bersinonim pada komponen makna pertama yaitu (+) berpindah. Dengan demikian secara linguistik kata mudik dan kata pulang kampung berbeda.
Akan tetapi dalam konteks pencegahan dan pengendalian covid-19, hakikatnya kedua kata ini sama. Karena kedua kata ini sama-sama berpeluang membuat perpindahan manusia dari satu tempat ke tempat lain. Dan hal ini tentu dapat menjadi sebab terjadinya penularan virus ini. Oleh karena itu, baik mudik atau pulang kampung di masa pandemi seperti ini tetap tidak dibenarkan. Karena hal ini dapat menjadi pemicu terjadinya penularan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini